Kontroversi Primacy Hukum Nasional atas Perjanjian Internasional

Kontroversi Primacy Hukum Nasional atas Perjanjian Internasional – Hubungan antara hukum nasional dan perjanjian internasional telah lama menjadi isu yang menimbulkan perdebatan di dunia hukum. Pertanyaan mendasarnya adalah: manakah yang harus lebih diutamakan, hukum nasional suatu negara atau kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi negara tersebut? Persoalan ini dikenal dengan istilah primacy atau “keutamaan”.

Dalam konteks hukum internasional, perjanjian yang telah diratifikasi oleh suatu negara dianggap mengikat dan harus dipatuhi. Prinsip ini dikenal dengan pacta sunt servanda, yang berarti “perjanjian harus dihormati.” Artinya, negara yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian internasional memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakannya dengan itikad baik. Namun, implementasi prinsip ini tidak selalu berjalan mulus, sebab masing-masing negara memiliki konstitusi, undang-undang, dan norma hukum nasional yang terkadang bertentangan dengan isi perjanjian internasional.

Konflik ini semakin kompleks ketika melibatkan isu kedaulatan. Bagi sebagian negara, menempatkan perjanjian internasional di atas hukum nasional dianggap sebagai pengingkaran terhadap kedaulatan. Sebaliknya, bagi negara lain, perjanjian internasional adalah wujud komitmen global yang harus dihormati meskipun bertentangan dengan hukum domestik.

Contoh nyata kontroversi ini bisa ditemukan dalam berbagai kasus, mulai dari Uni Eropa yang menuntut keseragaman hukum di antara negara anggotanya, hingga negara-negara berkembang yang sering kali menolak ketentuan perjanjian internasional dengan alasan melanggar kepentingan nasional mereka.

Perspektif Hukum Nasional vs. Hukum Internasional

Perdebatan soal primacy hukum nasional atas perjanjian internasional sering kali dijelaskan melalui dua teori utama: monisme dan dualisme.

  1. Monisme
    Dalam teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional dianggap sebagai satu kesatuan sistem hukum. Artinya, begitu sebuah negara meratifikasi perjanjian internasional, maka perjanjian tersebut otomatis berlaku dalam sistem hukum nasional tanpa memerlukan undang-undang tambahan. Negara-negara penganut monisme biasanya memberikan keutamaan kepada hukum internasional, karena dianggap memiliki daya ikat universal. Belanda, misalnya, secara konstitusional mengakui supremasi hukum internasional atas hukum nasional.
  2. Dualisme
    Sebaliknya, dalam teori dualisme, hukum nasional dan hukum internasional dianggap sebagai dua sistem hukum yang berbeda. Perjanjian internasional baru bisa berlaku di dalam negeri jika sudah diadopsi melalui undang-undang nasional. Dengan demikian, hukum nasional memiliki posisi yang lebih tinggi, karena negara berhak menolak penerapan suatu perjanjian jika bertentangan dengan konstitusi. Inggris dan beberapa negara Persemakmuran menganut sistem ini.

Perspektif yang dianut suatu negara sangat berpengaruh pada sikapnya terhadap primacy. Negara monis cenderung menempatkan hukum internasional di atas hukum nasional, sedangkan negara dualis lebih menekankan kedaulatan hukum domestik.

Kesimpulan

Kontroversi primacy hukum nasional atas perjanjian internasional mencerminkan ketegangan abadi antara kedaulatan negara dan kewajiban global. Di satu sisi, hukum internasional menuntut kepatuhan atas perjanjian yang telah disepakati, demi menjaga stabilitas hubungan antarnegara. Namun, di sisi lain, hukum nasional tetap dipandang sebagai manifestasi kedaulatan yang tidak bisa diabaikan.

Perdebatan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu model tunggal yang bisa diterapkan untuk semua negara. Setiap negara memiliki tradisi hukum, sistem politik, dan kepentingan nasional yang berbeda. Oleh karena itu, jalan tengah yang realistis adalah membangun harmoni antara kewajiban internasional dan norma domestik. Negara harus berkomitmen pada prinsip pacta sunt servanda, tetapi juga memperkuat mekanisme nasional agar implementasi perjanjian internasional tidak bertentangan dengan konstitusi.

Dengan pendekatan yang seimbang, primacy hukum internasional dan hukum nasional tidak lagi dipandang sebagai pertentangan mutlak, melainkan sebagai dua pilar yang saling melengkapi demi terciptanya tatanan hukum global yang adil dan stabil.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top